blog guru dan pembelajaran

Cerita klise guru-guru di republik ini adalah betapa banyak nasihat-nasihat bijak yang mereka telah berikan kepada murid-muridnya. Tapi apa yang terjadi? Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri begitu kita punya ibarat. Ribuan kalimat itu ternyata tidak mempunyai daya yang cukup besar untuk menggerakkan hati. Ini bisa jadi cerita klise ataupun anekdot, mungkin juga drama melankolis, tergantung bagaimana kita memandangnya.

Pasti ada yang salah. Apa? Bukankah nasihat-nasihat itu begitu bagusnya? Bukankah seharusnya guru itu digugu (didengar) dan ditiru? Ini! Digugu dan ditiru. Supaya didengar seorang guru harus berbicara. Kalau memberi nasihat saya rasa guru sudah bicara. Lalu supaya ditiru, guru harus melakukan sesuatu. Artinya, nasihat saja tidak cukup. Anak perlu melihat contoh dari gurunya. Guru jangan hanya jadi tong kosong. Nanti bisa jadi seperti peribahasa, tong kosong nyaring bunyinya. Mau?
OK, mari kita balik cara berpikirnya. Bukan seharusnya guru itu digugu dan ditiru, tapi bagaimana supaya guru bisa digugu dan ditiru. Tentu saja itu merupakan dua hal yang sangat berbeda. Seharusnya digugu dan ditiru berarti menuntut orang lain. Menuntut orang lain (anak) supaya mau mendengarkan apa yang dikatakan guru, kemudian melakukannya. Dalam kasus tertentu hal ini bisa bersifat pemaksaan.
Sedangkan bagaimana supaya bisa digugu dan ditiru mengandung pemahaman bahwa seorang guru harus melakukan usaha agar didengar dan diikuti murid-muridnya. Apa yang dikatakan guru bukan hanya terdengar, tapi juga didengar. Terdengar artinya tidak dikehendaki orang lain mendengarkan atau orang lain sebenarnya tidak mau mendengar. Didengar berarti ada usaha dari orang lain untuk mendengar. Motivasi yang mendengarkan tentu saja karena ingin tahu apa yang terucap.
Lalu bagaimana supaya seorang guru bisa didengar oleh murid-muridnya? Sederhana saja, melakukan apa yang dikatakan. “Datang tepat waktu, ya!” kata guru kepada murid-muridnya. Kalau mau didengar tidak cukup dengan diucapkan berulangkali dan suara yang jelas. Yang perlu dilakukan guru adalh datang tepat waktu, tidak terlambat. “Kita tidak usah malu meminta maaf” kalimat itu hanya terdengar. Buktinya anak-anak susahnya minta ampun kalau harus meminta maaf. Lalu, sudahkah kita sering memberI contoh dengan meminta maaf pada anak-anak?
Intinya, jadilah model. Kalau kita ingin anak-anak menunjukkan rasa tanggung jawab, ya kita tunjukkan bagaimana kita bertanggung jawab. Kalau kita minta anak-anak disiplin, kitalah yang memberi contoh sikap disiplin, kalau ingin anak-anak membuang sampah pada tempatnya, janganlah kita membuang sampah sembarangan. Katakan dan lakukan, jangan katakan dan minta orang lain melakukannya.

 
Cerita klise guru-guru di republik ini adalah betapa banyak nasihat-nasihat bijak yang mereka telah berikan kepada murid-muridnya. Tapi apa yang terjadi? Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri begitu kita punya ibarat. Ribuan kalimat itu ternyata tidak mempunyai daya yang cukup besar untuk menggerakkan hati. Ini bisa jadi cerita klise ataupun anekdot, mungkin juga drama melankolis, tergantung bagaimana kita memandangnya.
Pasti ada yang salah. Apa? Bukankah nasihat-nasihat itu begitu bagusnya? Bukankah seharusnya guru itu digugu (didengar) dan ditiru? Ini! Digugu dan ditiru. Supaya didengar seorang guru harus berbicara. Kalau memberi nasihat saya rasa guru sudah bicara. Lalu supaya ditiru, guru harus melakukan sesuatu. Artinya, nasihat saja tidak cukup. Anak perlu melihat contoh dari gurunya. Guru jangan hanya jadi tong kosong. Nanti bisa jadi seperti peribahasa, tong kosong nyaring bunyinya. Mau?
OK, mari kita balik cara berpikirnya. Bukan seharusnya guru itu digugu dan ditiru, tapi bagaimana supaya guru bisa digugu dan ditiru. Tentu saja itu merupakan dua hal yang sangat berbeda. Seharusnya digugu dan ditiru berarti menuntut orang lain. Menuntut orang lain (anak) supaya mau mendengarkan apa yang dikatakan guru, kemudian melakukannya. Dalam kasus tertentu hal ini bisa bersifat pemaksaan.
Sedangkan bagaimana supaya bisa digugu dan ditiru mengandung pemahaman bahwa seorang guru harus melakukan usaha agar didengar dan diikuti murid-muridnya. Apa yang dikatakan guru bukan hanya terdengar, tapi juga didengar. Terdengar artinya tidak dikehendaki orang lain mendengarkan atau orang lain sebenarnya tidak mau mendengar. Didengar berarti ada usaha dari orang lain untuk mendengar. Motivasi yang mendengarkan tentu saja karena ingin tahu apa yang terucap.
Lalu bagaimana supaya seorang guru bisa didengar oleh murid-muridnya? Sederhana saja, melakukan apa yang dikatakan. “Datang tepat waktu, ya!” kata guru kepada murid-muridnya. Kalau mau didengar tidak cukup dengan diucapkan berulangkali dan suara yang jelas. Yang perlu dilakukan guru adalh datang tepat waktu, tidak terlambat. “Kita tidak usah malu meminta maaf” kalimat itu hanya terdengar. Buktinya anak-anak susahnya minta ampun kalau harus meminta maaf. Lalu, sudahkah kita sering memberI contoh dengan meminta maaf pada anak-anak?
Intinya, jadilah model. Kalau kita ingin anak-anak menunjukkan rasa tanggung jawab, ya kita tunjukkan bagaimana kita bertanggung jawab. Kalau kita minta anak-anak disiplin, kitalah yang memberi contoh sikap disiplin, kalau ingin anak-anak membuang sampah pada tempatnya, janganlah kita membuang sampah sembarangan. Katakan dan lakukan, jangan katakan dan minta orang lain melakukannya.

 

Ah, terus terang saya tidak tahu, apakah kita sudah melakukan sesuatu yang benar? Sepuluh tahun menjadi guru, apa yang saya hasilkan? Bagaimana dengan Anda? Apakah seperti saya? Saya berharap jangan.
Sebagai guru saya tentu saja mengajar. Ya, pasti dong. Itu kan tugas saya. Berarti saya sudah melakukan hal yang benar. Ya, memang benar saya mengajar. Saya sangat yakin Anda pun sudah melakukannya. Apakah saya mengajar dengan benar? Wah, saya sendiri tidak berani menjawabnya. Apakah Anda sudah mengajar dengan benar? Semoga saja.
Tetapi ingatlah Saudara-saudara, kita selama ini sering terjebak pada mengajar. Ingatlah Saudara-saudara bahwa kita seharusnya membelajarkan! Maafkan, sebenarnya kalimat-kalimat itu lebih tepat untuk saya sendiri.
Nah, di titik inilah kita mulai bimbang. Sudahkah kita melakukan sesuatu yang benar? Apakah kita mengajar karena tugas? Sebagai sebuah rutinitas? Dirasakan sebagai beban? Apakah karena sudah membuat RPP, menyiapkan lembar kerja, mengobservasi setiap anak selama beraktivitas, membuat aktivitas belajar yang menyenangkan, membuat penilaian, dan menyampaikan laporan berarti sudah melakukan hal yang benar?
Bukankah semua itu tugas mulia seorang guru? Betul, tapi semua hal tadi baru dalam tataran mengajar, belum membelajarkan. Guru akan lebih mulia kalau mampu membelajarkan. Dan ini yang seharusnya dilakukan semua guru. Jadi bolehlah saya bertanya lagi, sudahkah kita melakukan hal yang benar?
Tentu saja ada definisi dan semangat yang berbeda dalam aktivitas mengajar dan membelajarkan. Mengajar itu aktivitas searah. Mengajar berarti memberitahu, mentransfer pengetahuan. Artinya anak pasif. Sehebat dan semenyenangkan apa pun kalau sekedar memberikan apa yang kita ketahui kepada anak, tetap saja disebut mengajar.
Sedangkan membelajarkan mengandung spirit pemberdayaan. Yang dilakukan guru adalah membuat usaha agar anak mampu mengajari dirinya sendiri. Tentu saja ada usaha membangun kesadaran diri. Anak diajak mengenali mengapa dia perlu belajar, bagaimana cara belajarnya, sikap apa yang diperlukan untuk membuat aktivitas belajarnya sukses, dan manajemen diri.
Artinya, perlu waktu beberapa lama sebelum masuk ke materi. Ini hal mendasar yang membedakan pembelajaran dengan pengajaran. Mengajar bisa langsung masuk ke materi tanpa memperhatikan kesiapan anak, sedangkan pembelajaran menuntut anak benar-benar siap dan mampu belajar.
Saya sadar ada kekhawatiran. Waktunya tidak banyak, banyak kegiatan, banyak libur, bagaimana kalau materinya tidak selesai? Kalau masih berpikir tentang semua hal itu, berarti kita belum beranjak dari mengajar. Belajar itu tanggung jawab anak, sedangkan tanggung jawab guru adalah membuat anak mampu belajar.
Soal materi, itu bisa dimodifikasi. Saya yakin Anda bisa menyiasatinya. Kemampuan belajar lebih penting. Semakin dini dikembangkan akan semakin baik. Setelah anak mempunyai keterampilan belajar, segalanya akan terasa lebih ringan. Tidak percaya? Buktikan sendiri

HAK MENGAJAR

Guru bukanlah penguasa di kelas. Tapi betapa banyak guru yang menempatkan diri sebagai penguasa kelas. Kita lihat, banyak sekali kata-kata yang bersifat instruksional dan dogmatis beterbangan di ruang-ruang kelas. Perhatikan lagi bagaimana bahasa tubuh guru yang memberi tekanan bahwa ia harus diikuti. Guru pun duduk manis di singgasananya.
Suasana demikian menjadikan belajar adalah proses searah, dari guru ke murid, sehingga pembelajaran pun berpusat pada guru. Selanjutnya, anak hanya bersifat pasif. Menerima dan menunggu. Tidak ada kegairahan, karena belajar bersifat terpaksa, bukan berangkat dari kebutuhan dan kesadaran. Padahal belajar bukan hanya aktifitas fisik, tetapi juga aktifitas mental. Belajar adalah kegiatan full contact. Emosi dan perasaan tidak bisa dilepaskan dari proses belajar.
Pemahaman demikian akhirnya membawa kesadaran bahwa dengan berbekal surat tugas atau surat keputusan, seorang guru tidak serta merta mempunyai hak untuk mengajar. Surat tugas maupun surat keputusan merupakan wewenang, bukan hak untuk mengajar. Mengapa demikian?
Anaklah yang memberi hak untuk mengajar, sebab anak adalah subjek pembelajaran. Aktifitas belajar dibangun berdasarkan minat dan kebutuhan anak. Dengan demikian anaklah yang memikul tanggung jawab untuk belajar, bukan guru. Ini berarti anak jugalah yang menentukan bagaimana cara belajar dan siapa yang membantunya belajar.
Paradigma seperti ini membangun kesetaraan antara guru dan murid dalam proses pembelajaran, yang pada akhirnya membuat anak bersemangat dan berkembang harga dirinya. Dengan demikian cara berpikir yang dipakai adalah berusaha mendapatkan ijin dari anak untuk mengajar. Ini tentu saja jangan dibayangkan ada suratnya seperti halnya surat tugas atau surat keputusan.
Ijin mengajar dari anak berarti bahwa seorang guru diterima untuk mengarahkan mereka menuju penguasaan kompetensi. Penerimaan anak terlihat dari tingkat dan kualitas keikutsertaan anak dalam proses pembelajaran.
Lalu bagaimana untuk mendapatkan ijin mengajar? Pertama, binalah jalinan yang erat dengan anak-anak. Kedekatan dengan anak memudahkan seorang guru untuk memasuki dunia mereka, serta mengajak mereka bertualang dalam dunia yang ada disekitarnya, yang pada hakekatnya adalah sumber belajar yang sangat kaya.
Kedekatan juga bisa mengurangi ketegangan anak, sehingga ia bisa merasa lebih aman dan nyaman. Banyak hasil penilitian yang menyebutkan suasana aman dan nyaman sangat berpengaruh terhadap hasil belajar secara keseluruhan. Dalam suasana yang demikianlah, tekanan bisa berkurang dan sel-sel saraf otak membuka diri sehingga mudah mengakses informasi-informasi yang bertebaran.
Yang kedua, seorang guru harus mampu ‘membaca’ murid-muridnya. Guru mutlak mengetahui apa yang dirasakan, dipikirkan, atau diinginkan anak. Disini dituntut kemampuan observasi dan kejelian dalam melihat perubahan yang dialami anak. Roman muka, posisi badan, gambar atau tulisan anak mencerminkan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan diinginkan anak.
Setelah mengetahui isi dalam benak anak, guru membuat stimulus agar anak bisa mengekspresikannya secara sehat dan positif. Misalnya ada anak yang terlihat murung, bukan dibiarkan saja, tetapi didekati, dibuat nyaman sampai akhirnya bisa mengungkapkan apa yang dirasakan.
Ketiga, bersikaplah tulus. Mengajar adalah melayani. Melayani anak dalam perjalanan menuju kedewasaan berpikir dan bertindak. Ketulusan dalam mengajar akan mewarnai tindakan dan sikap kita. Masalah yang muncul dalam proses pembelajaran tidak disikapi dengan mengeluh dan rasa jengkel atau marah.
Guru hendaknya menyikapi dengan baik setiap pertanyaan dan keinginan anak, memberikan umpan balik yang memberdayakan, serta tidak berpandangan bahwa pembelajaran hanya berlangsung di kelas saja. Waktu kapanpun dengan anak adalah pembelajaran.

 

 

MENUJU GURU EFEKTIF

Sebagai seorang guru, apakah Anda memerintah, mengatur, dan memimpin anak-anak, murid-murid Anda? Kalau memerintah, artinya Anda adalah penguasa, orang yang menguasai mereka. Kalau Anda mengatur berarti kesempatan anak-anak menjadi manajer bagi dirinya sendiri berkurang. Kalau Anda memimpin, kapan anak menjadi leader?
Penjungkirbalikan perlu dilakukan. Bukan untuk membuat pusing, tapi untuk mendapatkan sudut pandang baru. Langkah-langkah yang kita tempuh tidak selalu menguatkan. Lebih sering membuat kita jengah, lengah. Saat itulah kita butuh penyegaran.
Memandang dari sisi yang berbeda menghasilkan keterkejutan karena hasil bidiknya yang tidak biasa. Kalau biasa memerintah, cobalah mengajak murid-murid Anda. Maka Anda akan dikejutkan betapa lebih antusiasnya mereka. Kenapa? Karena mereka, murid-murid Anda merasakan ada medan keakraban yang anda pancarkan. Medan keakraban ini membuat mereka nyaman.
Bagaimana kalau biasa mengatur? Cobalah bebaskan mereka, berilah kepercayaan. Buka pintu kesempatan selebar-lebarnya bagi alternatif kegiatan dan cara bekerja. Kejutan apa yang akan Anda dapat? Anda akan melihat betapa kreatifnya murid-murid Anda. Anda mungkin tidak menyangka betapa kaya mereka dengan ide-ide yang selama ini terkekang karena banyaknya aturan. Selanjutnya Anda akan menjadi saksi tumbuhnya rasa percaya diri dan sikap positif. Buah kepercayaan yang Anda berikan adalah berkembangnya diri dan kemampuan mereka.
Selanjutnya, kalau tidak memimpin anak-anak, apa yang harus dilakukan? Anda tidak harus selalu di depan. Berilah kesempatan lebih banyak kepada anak-anak untuk memimpin. Lebih baik Anda sering-sering berada di tengah dan di belakang. Ketika di tengah, saat itulah Anda menjadi seorang motivator yang menyulut api semangat sehingga berkobar menyala-nyala. Waktu berada di belakang, Anda mempunyai ruang pandang yang lebih luas. Anda bisa memonitor aktivitas dengan lebih baik. Saatnya Anda menjadi pengamat yang mampu memberi masukan positif dan konstruktif.
Sebagai guru, Anda mempunyai peran mengembangkan keahlian, bukan mematikan potensi. Menjadi dominan di kelas bukanlah sebuah cara tepat untuk memainkan peran tersebut. Sudah saatnya guru melihat lagi posisinya.
Dalam tataran aktivitas mengajar, banyaklah bergerak. Berdirilah dalam posisi yang menyatakan Anda adalah pribadi yang percaya diri. Melangkahlah untuk menarik perhatian. Gerakkan tangan untuk membangkitkan motivasi. Pilih kata-kata pembakar energi potensial mereka.
Lalu bawakan materi pelajaran dengan mengedepankan kemampuan berpikir. Jangan langsung membebani anak dengan hafalan. Beri mereka kesempatan mengembangkan kemampuan bernalar dan memecahkan masalah. Ajarkan anak mendekatkan materi yang dipelajari dengan pengalaman diri dan kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan aspek kehidupan lainnya yang ada di sekelilingnya.
Kunci sukses lain untuk menjadi guru yang efektif adalah memberi kesempatan yang lebih banyak kepada anak. Tidak perlu langsung mengambil alih kalau anak melakukan kesalahan. Tidak juga langsung menunjukkan yang benar. Biarkan anak mengetahui hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan supaya tidak menemukan kegagalan. Ketika Thomas Alva Edison berulangkali ‘gagal’ dalam percobaannya, ia tidak menyebutkan gagal. Thomas Alva Edison mengatakan telah menemukan banyak cara agar tidak gagal membuat lampu, dan hanya satu cara agar berhasil.
Kalau Anda belum biasa melakukannya, mulailah dari sekarang. Sekarang juga, jangan ditunda.

 

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!